Polemik Lahan Karawang Fasilitas Publik Dibangun di Atas Kawasan Hutan


Karawangexpres – Polemik seputar klaim kawasan hutan di Kabupaten Karawang kembali menjadi sorotan publik. Masalah yang telah berlangsung selama bertahun-tahun ini kembali mencuat setelah sejumlah pembangunan fasilitas publik didanai oleh anggaran pemerintah daerah (APBD), meski berdiri di atas lahan yang oleh pemerintah pusat diklaim sebagai kawasan hutan. Situasi ini menimbulkan pertanyaan serius soal konsistensi kebijakan tata ruang serta legalitas status lahan yang digunakan untuk pembangunan.


Permasalahan ini menjadi pelik karena tidak hanya menyangkut status hukum lahan, tetapi juga menyentuh kepentingan masyarakat, keberlangsungan pembangunan daerah, dan kredibilitas institusi pemerintah dalam hal pengelolaan lahan negara.


Rudi, perwakilan dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Karawang, menegaskan bahwa penyelesaian konflik ini membutuhkan waktu dan keterlibatan banyak pihak. Ia menjelaskan bahwa data dari berbagai sumber harus dihimpun, diverifikasi, dan kemudian disampaikan melalui forum fasilitasi khusus atau forum fasus sebagai jalur resmi penyelesaian sengketa.


“Penyelesaiannya tidak sederhana karena melibatkan berbagai pihak. Harus duduk bareng, kumpulkan data, dan disalurkan lewat forum fasus untuk diangkat ke tingkat yang lebih tinggi,” ujar Rudi saat ditemui pada Senin (6/10/2025).


Rudi mengungkapkan bahwa forum ini telah menjadi alternatif legal untuk menampung aspirasi masyarakat dibandingkan aksi demonstrasi yang kerap dilakukan sebelumnya. Namun ia menegaskan bahwa setiap klaim tetap harus disertai bukti kuat.


“Dulu caranya demo, sekarang bisa disampaikan baik-baik dan didengar oleh pihak kehutanan. Tapi tetap harus ada pembuktian, masing-masing harus tunjukkan datanya. Tidak bisa hanya berdasarkan pengakuan sepihak,” tambahnya.


Di sisi lain, masyarakat mulai kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah akibat tumpang tindihnya kebijakan dan praktik di lapangan. Rangga, Koordinator Komunitas Sepetak—sebuah kelompok warga yang peduli pada isu agraria dan lingkungan hidup—menyoroti adanya sejumlah pembangunan yang menggunakan dana APBD di atas lahan yang menurut pemerintah pusat masih berstatus kawasan hutan.


“Kalau benar itu kawasan hutan, harusnya tidak boleh ada anggaran APBD masuk. Tapi faktanya, kantor desa, sekolah, bahkan masjid berdiri di atas tanah yang katanya kawasan hutan. Jadi yang salah siapa? Masyarakat, pemerintah daerah, atau pemerintah pusat?” tegas Rangga.


Menurut Rangga, pembangunan fasilitas publik tersebut bukan hal baru dan telah berlangsung selama bertahun-tahun tanpa pernah ada intervensi dari pihak kehutanan. Hal ini memperkuat dugaan masyarakat bahwa status lahan yang dimaksud masih belum jelas secara hukum.


Ia menyebut dua desa yang paling terdampak dalam sengketa ini: Desa Tanjungpakis dan Desa Sedari. Di kedua desa tersebut, hampir seluruh fasilitas publik berdiri di atas lahan yang kini diklaim sebagai kawasan hutan oleh pemerintah pusat.


“Kantor desa tempat pelayanan warga berdiri. Anak-anak sekolah di bangunan milik pemerintah. Salat di masjid yang dibangun pakai dana APBD. Tapi tiba-tiba diklaim itu hutan. Ini kan ironis dan membingungkan,” tambahnya.


Kondisi ini menciptakan ketidakpastian hukum dan sosial di tengah masyarakat. Warga mengaku bingung bagaimana seharusnya menyikapi situasi ini. Di satu sisi, mereka merasa telah menempati lahan secara sah selama puluhan tahun, bahkan memiliki dokumen penguasaan tanah dari desa. Di sisi lain, muncul klaim dari pemerintah pusat yang menyebutkan bahwa lahan tersebut adalah bagian dari kawasan hutan negara.


Tidak sedikit warga yang takut melakukan renovasi rumah atau mengurus sertifikat tanah karena khawatir akan terkena sanksi hukum. Beberapa bahkan mengaku enggan menerima program bantuan pemerintah yang terkait dengan tanah karena takut dikemudian hari dikriminalisasi.


Polemik ini memperlihatkan persoalan klasik tata kelola lahan di Indonesia: tumpang tindih antara peta kehutanan dan peta penggunaan lahan oleh pemerintah daerah. Pengamat kebijakan agraria menilai, hal ini diperparah oleh minimnya transparansi data serta lemahnya koordinasi antarinstansi pemerintah.


Beberapa program pembangunan, meski telah melalui mekanisme perencanaan anggaran dan pengesahan DPRD, nyatanya tetap menabrak aturan pusat tentang kawasan hutan. Sebaliknya, klaim pusat tentang status hutan sering kali tidak disosialisasikan dengan baik ke daerah maupun masyarakat terdampak.


Kini, masyarakat Karawang mendesak agar pemerintah, baik pusat maupun daerah, segera mengambil sikap tegas dan transparan terkait status lahan yang disengketakan. Mereka menuntut keputusan yang adil, berbasis fakta dan hukum, bukan sekadar klaim administratif sepihak.


Pemerintah diminta untuk membuka data secara publik, menggelar dialog terbuka, dan memberikan solusi yang tidak merugikan warga. Pendekatan represif dinilai hanya akan memperbesar konflik dan merusak kepercayaan publik terhadap institusi negara.




(Wahid/Aisah)